Menguji Rasional Prabowo, Jangan Sampai ASN Keburu Kegirangan Bukan Kepalang

News235 Dilihat

JAKARTA – Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis ( CITA) Yustinus Prastowo mengaku menarik mencermati pernyataan Prabowo Subianto dalam debat Capres-Cawapres 17 Januari 2019. Meski topiknya ‘Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme’, ternyata istilah ‘tax ratio’ muncul sekurangnya dua kali, dan diajukan sebagai solusi untuk menaikkan gaji PNS dan aparat penegak hukum agar tidak korupsi lagi.

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Pasca Sarjana Universitas Indonesia ini berpengalaman sebagai auditor pajak dan analis kebijakan publik ini pun ingin menguji apa yang disampaikan Prabowo.

Dijelaskan Yustinus, menaikkan tax ratio menjadi tanggung jawab Pemerintah karena untuk dapat mencapai tujuan pembangunan yang optimal, setidaknya dibutuhkan level tax ratio 16%. Maka angka itu benar belaka! Kalau dicek di visi misi Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta tahun 2014, mereka juga mengusulkan angka ini. Jadi saat ini baik pasangan Jokowi-Makruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga Uno sudah selayaknya memberi perhatian pada perbaikan sistem perpajakan agar mampu mencapai level optimal untuk pembangunan.

“Yang patut dicermati adalah menjadikan kenaikan tax ratio sebagai solusi jangka pendek karena akan digunakan untuk mengatasi akar permasalahan korupsi, yakni gaji PNS dan aparat penegak hukum yang dianggap masih rendah,” beber Yustinus.

Dia pun melogikakan dengan hal yang sederhana yakni Pemerintah ingin menarik pajak lebih besar dari rakyat, untuk membiayai para aparatur negara yang tugasnya melayani kepentingan rakyat. Lalu bergumam: mahal bener ya mengongkosi pelayan!

Tax Ratio adalah perbandingan antara penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto. Nisbah ini yang sering dipakai untuk mengukur kinerja pemungutan pajak. Meski demikian, kata dia, tax ratio bukanlah satu-satunya alat ukur bagi kinerja institusi pemungut pajak lantaran ada beberapa faktor dan kondisi yang perlu diperiksa dan dibandingkan. Misalnya, besaran insentif pajak, besarnya sektor informal (underground economy), insentif untuk menghindari pajak, kehandalan sistem, tingkat kepatuhan pajak, dll.

Tax Ratio Indonesia 2017 sebesar 8,47% (dalam arti sempit, penerimaan pajak yang dikelola Ditjen Pajak saja) dan dalam arti luas 10,58% (termasuk bea cukai dan PNBP SDA). Dalam arti luas, tax ratio kita berturut-turut 14,6% (2012), 14,3% (2013), 13,7% (2014), 11,6% (2015), dan 10,8% (2016), 10,7% (2017), dan 11,5% (2018).

Pendapatan negara (pajak, bea cukai dan PNBP) kita tahun 2014 sebesar Rp 1.386 T, lalu Rp 1.341 T (2015), Rp 1.349 T (2016), Rp 1.439 T (2017), dan Rp 1.664 T (2018). Pendapatan negara 2018 terhadap 2014 naik Rp 278 T atau 20%. Itu sudah kemampuan optimal kita selama empat tahun, di tengah stagnasi pertumbuhan ekonomi, pemberian amnesti pajak, moderasi strategi pemungutan, dan pemberian insentif. Padahal Pemerintah telah memberikan tax expenditure (belanja pajak sebagai insentif) sebesar Rp 154 T (2017).

“Pada level ini saja masih timbul problem di lapangan karena pelaku usaha kadang mengeluh tentang beban pajak,” jelas dia.

Lalu jika tax ratio kita 16%, berapa kenaikannya?

PDB 2018 kurang lebih Rp 14.745 T, sehingga kenaikan ke 16% (naik 4,5% dari tax ratio 2018 sebesar 11,5%) adalah Rp 663 T atau 48% dari pendapatan negara tahun 2014.

“Mungkinkah dalam jangka pendek menarik pajak yang nilainya dua kali lipat kenaikan 2015-2018 yang sebesar 20%, tanpa menimbulkan kegaduhan dan menggencet pelaku usaha?,” tanya dia.

Maka yang dilakukan Kementerian Keuangan RI saat ini dinilainya sudah tepat: mengarahkan target Nawacita 16% ke rasionalitas sesuai konteks dan tantangan di lapangan. Targetnya rasio pajak 15% tahun 2020. Caranya dengan melakukan tax reform (perbaikan regulasi, proses bisnis, sistem administrasi, tata organisasi, dan SDM), dengan target tax ratio menaik secara gradual-proporsional. Pertimbangannya, membangun sistem pajak pertama-tama harus membangun ekosistem dan environment yang kondusif, agar racikan antara peningkatan kepatuhan wajib pajak, perbaikan kualitas regulasi, penyempurnaan administrasi, peningkatan mutu sumber daya, dan perbaikan iklim berusaha – berjalan beriringan.

“Hal itu akan semakin kontradiktif dan inkonsisten, karena di lain pihak Prabowo-Sandi juga mengusulkan penurunan tarif PPh, baik PPh Badan maupun orang pribadi, termasuk penghapusan PBB rumah pertama, penghapusan pajak sepeda motor, dan pembebasan pajak UMKM pelaku bisnis digital untuk 2 tahun pertama,” sebutnya.

Artinya, kata Yustinus, hasrat menggenjot tax ratio dalam jangka pendek jelas hanya bisa bertumpu pada kenaikan tarif pajak, bukan sebaliknya. Penurunan tarif pajak dalam jangka pendek akan menurunkan penerimaan, apalagi tingkat kepatuhan rakyat Indonesia masih rendah dan basis pajaknya belum bertambah signifikan.

Sekali lagi, catatan ini hanya ingin menguji rasionalitas program jangka pendek. Jangan sampai para ASN keburu girang bukan kepalang, di saat bersamaan para pelaku usaha dan wajib pajak ketar-ketir karena siap-siap jadi sasaran perburuan target pajak. Jangan-jangan bukan lagi “berburu di kebun binatang”, tapi “mengail di akuarium”. Malas berburu di hutan.

“Ini perkara mengurus negara, bukan sekadar mengurus perusahaan yang bisa dilakukan dengan coba-coba dan obral janji manis yang tak rasional,” katanya.

“Semoga publik terus bersemangat menguji rasionalitas gagasan dan program para Capres, termasuk menggali lebih lanjut apa yang akan dilakukan Presiden Jokowi di sisa jabatan, dan pasangan Jokowi-Makruf Amin jika diberi mandat memimpin negara. Tugas pemimpin bukan sekadar memberikan yang disukai rakyat, melainkan mengarahkan energi dan upaya bagi kebaikan bangsa Indonesia,” pungkasnya.