Labeli Kata-Kata Cebong, Jari 98 Keberatan dengan Apa yang Disampaikan Ketua MUI DKI

Politik227 Dilihat

JAKARTA – Jelang Pemilu 2019, publik masih dihadapi dengan berbagai keresahan. Salah satu kekhawatiran dan keresahan itu merujuk pada penggunaan label seperti ‘cebong’ atau ‘kampret’ yang kerap berseliweran di media sosial maupun Whatsapp Group (WAG).

Terlebih penggunaan label itu justru keluar dari ulama yang jadi panutan umat. Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (JARI 98) pun mengaku sangat keberatan jika ada penggunaan istilah hewan itu malah disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta Munahar Mukhtar.

“Apa yang disampaikannya dengan melabeli kata-kata cebong menurut kami beliau perlu disadarkan kembali dan bertaubat. Ini sama saja tidak menghargai Tuhan yang telah menciptakan manusia,” ungkap Korwil Jari 98 Jakarta Utara Donny Fraga Wijaya, hari ini.

Menurut Donny, ucapan itu sangat tidak pantas ditambah lagi dengan menggunakan istilah hewan untuk mendegradasi atau merendahkan manusia. Kata dia, Islam tidak mengajarkan demikian.

“Itu tidak sesuai dengan akhlak Islam. Siapa pun itu, baik pihak ini ke sana, pihak ini ke situ, apalagi ini sekelas ulama. Harusnya Ketua MUI DKI ini bisa berdiri ditengah-tengah, bagaimana bisa menyejukkan kalau bahasanya demikian,” ucapnya lagi.

Untuk diketahui, label ‘cebong’ dan ‘kampret’ populer di media sosial. Sebutan ‘cebong’ atau ‘kecebong’ merujuk pada para pendukung Jokowi. Sedangkan sebutan ‘kampret’ merujuk ke pendukung Prabowo Subianto.

Donny kembali menegaskan bahwa Islam menghormati semua manusia, termasuk kepada para nonmuslim. Jari 98 mengaku prihatin atas penyampaian pentolan MUI DKI ini yang dinilainya memunculkan benih permusuhan. Dia berpesan agar Munahar bisa menjaga silaturahmi meski berbeda pandangan, tidak menghina kelompok lain, dan berlomba dalam kebaikan.

“Manusia itu siapapun, adalah makhluk ciptaan Allah. Agama menyebutkan ‘karamna bani Adam, kami memuliakan bani Adam, bukan hanya muslim, bukan hanya mukmin’,” kata dia.

Donny mengingatkan agar ulama yang harusnya jadi publik figur bisa mencerminkan nilai dan keadaban islam. Dalam konteks keadaban islam harus punya tutur bahasa menyejukkan, bukan sebaliknya.

“Keadaban Islam itu mengharuskan kita untuk menyampaikan nasehat yang baik bukan dengan mengujat,” terangnya.

Dikatakannya, tutur kata santun seorang dai maupun ulama saat memberi nasihat merupakan hal yang wajib dalam agama, termasuk bila penyampaian itu bertujuan untuk mengkritik.

“Bernasihat itu harus dengan cara yang baik, tidak hanya substansinya baik, tapi caranya pun harus baik, jangan ngawur. Mengayomi seluruh umat, bukan memusuhi,” kata dia.

Pihaknya pun mempersilakan kritikan Munahar dan kelompoknya itu berbicara politik di masjid pada tahun politik ini sepanjang didasari niat untuk ibadah dan kemaslahatan umat. Kendati demikian, fungsi masjid sebagai tempat ibadah harus dikembalikan. Ibadah bukan hanya kegiatan ritual yang diharuskan oleh agama, melainkan juga kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kemaslahatan umat.

“Kalau niatnya sudah syahwat politik untuk berkuasa di negeri ini ya ngawur itu namanya. Masjid kan fungsinya untuk ibadah. Ibadah ada dua. Satu, ibadah mahdhah yaitu ibadah langsung secara vertikal lewat kegiatan-kegiatan ritual yang diharuskan oleh agama. Kedua, ibadah ghairu mahdhah. Kelihatannya bukan ibadah, tetapi untuk kemaslahatan umat itu ibadah,” pungkasnya.