Lagi, Mengulas Secara Detail Ide Kebijakan Pajak yang Digagas Prabowo-Sandiaga

News180 Dilihat

Akhir pekan ini ada kemajuan cukup bagus, bahwa kampanye politik mulai diwarnai sajian gagasan. Adalah Andre Rosiade, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Pasangan No 2, yang menyampaikan janji membangun infrastruktur tanpa membebani anggaran dengan utang. Caranya: melakukan kebijakan tax ratio yang menurunkan tarif pajak ke masyarakat (selengkapnya di: https://news.detik.com/berita/4335032/penjelasan-bpn-soal-janji-sandiaga-lakukan-pembangunan-tanpa-utang ), dan mempergunakan anggaran secara cerdas dan tepat.

Mari kita cek dan uji lebih detail.

1. Melakukan kebijakan tax ratio?

Pernyataan ini dapat dimaklumi sebagai kesalahpahaman yang wajar terjadi. Tax ratio adalah angka (nisbah) hasil perbandingan antara penerimaan pajak dan Produk Domestik Bruto (PDB). Pajak di sini dapat bermakna sempit (pajak saja), atau luas (pajak, bea cukai, PNBP sumber daya alam, bahkan di beberapa negara termasuk iuran social security). 

Jadi tax ratio itu hanya ukuran atau indikator, bukan kebijakan. Yang dimaksud dengan kebijakan tentu saja serangkaian program atau tindakan yang berdampak langsung atau tidak langsung pada peningkatan atau penurunan penerimaan pajak, seperti menaikkan/menurunkan tarif, memberikan insentif pajak, dll. 

2. Menurunkan tarif pajak ke masyarakat?

Tentu saja ini ide yang baik dan patut didukung. Pasca Orde Baru, tarif PPh juga konsisten turun, dari 35% menjadi 25% (Badan), dan 30% (Orang Pribadi). 

Kebijakan Perpajakan di era Jokowi juga memasukkan penurunan tarif pajak sebagai bagian dari program reformasi perpajakan. Persoalannya, menurunkan tarif pajak harus melalui revisi UU dan di sinilah kendalanya. Saat ini Kemenkeu sedang menyusun RUU Pajak Penghasilan (RUU PPh), yang salah satu kebijakannya menyesuaiakan tarif PPh supaya lebih berdaya saing dan menarik investasi. 

Tak sekadar retorika, hal ini dimulai dengan program pengampunan pajak yang memberi kesempatan wajib pajak mengungkap harta secara sukarela dan membayar uang tebusan, agar tersaji basis data yang mumpuni sebagai titik pijak reformasi. Selanjutnya melalui UU No. 9/2017, Pemerintah memiliki akses lebih luas terhadap informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Tentu saja hal ini bagus untuk mendorong kepatuhan pajak dan secara otomatis akan mendongkrak penerimaan pajak. 

Penurunan sudah dimulai secara parsial, misalnya: menghapus sanksi administrasi (PMK-91/2015 ), menurunkan tarif revaluasi aktiva tetap dari 10% menjadi 3% (PMK-191/2015), menghapus pajak berganda Dana Investasi Real Estate (DIRE) melalui PMK-200/PMK.03/2015, amnesti pajak yang hanya membayar tebusan 2% (UU 11/2016), PPh Final UMKM dari 1% menjadi 0,5% (PP 23/2018), percepatan restitusi (PMK-39/2018), kebijakan pemeriksaan berbasis risiko (SE-15/2018), dan insentif pajak berupa tax holiday yang diperluas dan diperlonggar (PMK-35/2018). 

Siapapun pemenang Pilpres mempunyai tanggung jawab menuntaskan agenda reformasi yang telah dan sedang dijalankan, antara lain menyesuaikan tarif PPh secara terukur. Bukan obral tapi rasional-kontekstual. 

3. Rusia di zaman Putin menurunkan tarif PPh dari 80% menjadi 13% dan penerimaannya naik 3-6 kali?

Russia melakukan reformasi pajak tahun 2001. Sejak itu, tarif pajak di Russia adalah tarif tunggal (flat rate) 13% untuk orang pribadi, setelah sebelumnya ada 3 lapis tarif, 12%, 20%, dan 30%. Sedangkan tarif untuk PPh Badan adalah 20%. Russia juga mengenakan Pajak Penjualan dengan tarif 18%. Sejauh dilacak, Russia belum pernah menerapkan tarif PPh 80%, tetapi tertinggi pernah menerapkan 43%. 

Reformasi pajak di Rusia berhasil menaikkan pendapatan PPh di tahun 2002, naik sekitar 25% tetapi selanjutnya mengalami stagnasi. Bank Dunia mencatat, tax ratio Rusia terjun bebas dari 15,78% (2001), 12,96% (2009), 13,23% (2014), menjadi 10,62% (2015), dan terakhir 9,14% (2016).

Belakangan, di Rusia justru muncul wacana untuk melakukan penyesuaian tarif pajak untuk memenuhi kebutuhan anggaran dan merespon dinamika ekonomi. Usulan yang sedang dibahas adalah menaikkan tarif PPh dari 13% menjadi 15% dan tarif Pajak Penjualan dari 18% menjadi 20%. 

Lalu darimana angka tarif 80% berasal? Mungkinkah AR merancukan informasi aktor Prancis Gerard Depardieu yang meninggalkan negaranya dan menjadi residen Rusia karena tarif pajak yang akan dinaikkan Francois Hollande dari 41% menjadi 75% pada 2013? Entahlah.

Yang jelas kita punya kiblat yang lebih baik untuk belajar reformasi pajak, dan cukup pasti itu bukan Rusia! 

4. Tax Ratio Indonesia tahun depan bisa turun?

Membaca data sebaiknya dilakukan dengan menempatkannya dalam tren supaya dapat dipahami pola pergerakannya. Benar bahwa Indonesia mengalami penurunan tax ratio, tetapi itu harus dipahami dalam konteks yang tepat. Penurunan bisa terjadi karena pertumbuhan ekonomi menurun atau stagnan, penambahan insentif pajak, tingginya penghindaran pajak, rendahnya ketidakpatuhan, sistem administrasi yang belum mumpuni, dll. 

Namun jika mencermati pencapaian penerimaan pajak sampai dengan 30 November 2018, justru terjadi pertumbuhan yang cukup mantap di kisaran 15-16%, sehingga penerimaan pajak tahun 2018 diproyeksikan mencapai 94% dari target, di atas pencapaian tahun 2017 sebesar 89,4%. Bahkan untuk pendapatan negara (termasuk PNBP), diproyeksikan melampaui target APBN 2018.

Dengan demikian realisasi tax ratio juga akan membaik, bahkan tahun 2019 ditargetkan lebih tinggi lagi. 

5. Menggunakan anggaran dengan cerdas dan tepat?

Supaya objektif, disarankan membaca angka dan tren APBN kita yang datanya bisa diakses dengan mudah. APBN harus dibaca sebagai sebuah continuum. Postur APBN 2019 secara alamiah meningkat sekitar 30% dibandingkan posisi 2014, baik pendapatan negara, dari posisi Rp 1.667 triliun (2014) menjadi Rp 2.165 triliun (2019), maupun belanja negara dari Rp 1.842 triliun (2014) menjadi Rp 2.461 triliun (2019). Pemerintah mengklaim APBN 2019 berciri  ‘sehat, adil, dan mandiri’. 

Sehat lantaran target rasio defisit APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) semakin turun yakni 1,84%, turun dibanding 2,33% (2013), 2,25% (2014), 2,59% (2015), 2,49% (2016), 2,51% (2017), 2,12% (outlook 2018), menjadi 1,84% (target 2019). Rasio keseimbangan primer terhadap PDB pun konsisten menurun mendekati Rp 0,-, yakni 0,12% atau Rp 20,1 triliun, dibandingkan berturut-turut 1,23% (2015), 1,01% (2016), 0,92% (2017), 0,44% (outlook 2018). 

APBN 2019 juga adil karena menekankan efisiensi dan relokasi, dengan berfokus pada pembangunan manusia. Pasca menggenjot pembangunan infrastruktur yang menjadi prasyarat dasar bagi produktivitas dan daya saing perekonomian yang tertinggal, Pemerintah menggeser fokus ke sumber daya manusia yang akan menjadi prasyarat penting bagi investasi di era industri 4.0. ABPN disebut berparas humanis, karena secara eksplisit menyatakan pentingnya kualitas manusia dan mengalokasikan insentif khusus untuk sektor ini. 

Rinciannya,  anggaran pendidikan tahun 2019 sebesar Rp 492,5 triliun atau naik 40% dibanding anggaran tahun 2015 sebesar Rp 390 triliun, dengan fokus percepatan pembangunan sarana dan prasarana, perluasan program beasiswa, alokasi dana abadi penelitian, dan penguatan pendidikan vokasi. Khusus untuk pendidikan vokasi, APBN 2019 mengalokasikan belanja Rp 17,2 triliun atau 2,5 kali dari anggaran tahun 2015 sebesar Rp 6,8 triliun, dan alokasi insentif pajak (tax expenditure) untuk penelitian dan pengembangan oleh dunia usaha dan dunia industri sebesar Rp 18 triliun. 

Di sektor kesehatan, APBN 2019 mengalokasikan anggaran Rp 123,1 triliun atau naik dua kali lipat dibandingkan alokasi tahun 2015 sebesar Rp 69,3 triliun, dengan berfokus pada perluasan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi 96,8 juta jiwa, perbaikan pelayanan, percepatanan penanganan stunting, dan optimalisasi bauran kebijakan bagi program JKN. Untuk memberikan perlindungan sosial dan peningkatan kesejahteraan bagi 40% penduduk berpenghasilan terendah, APBN 2019 memperkuat Program Keluarga Harapan (PKH) dengan sasaran 3,5 juta keluarga (2015) menjadi 10 juta keluarga (2019), peningkatan jumlah sasaran peneriman kredit Ultra Mikro dari 0,3 juta (2017) menjadi 1,4 juta (2019), mahasiswa penerima bidikmisi meningkat dari 269 ribu (2015) menjadi 471 ribu (2019). Alokasi TKDD (Transfer ke Daerah dan Dana Desa) meningkat tajam dari Rp 623,1 triliun (2015) menjadi Rp 826,8 triliun (2019), dengan Dana Desa dari Rp 20,8 triliun (2015) menjadi Rp 70 triliun (2019) ditambah alokasi Rp 3 triliun untuk Dana Kelurahan. 

Ciri mandiri dalam APBN tercermin dalam dua hal, menurunnya pembiayaan utang dalam dua tahun terakhir dan peningkatan pendapatan negara. Tahun 2019 Pemerintah menargetkan utang sebesar Rp 359,3 triliun atau tumbuh negatif 7,3% dibanding outlook posisi utang 2018 sebesar Rp 387,4 triliun dan posisi 2017 sebesar Rp 429,1 triliun. Sebaliknya, pembiayaan investasi meningkat dari Rp 59,7 triliun (2015) menjadi Rp 75,9 triliun (2019). Dengan kata lain,  rasio utang terhadap PDB tetap terjaga. Hal ini juga ditopang kinerja penerimaan perpajakan yang semakin prima. 

Meski sempat terseok-seok di tahun 2015-2016 akibat target pajak yang cukup ambisius di tengah pelambatan ekonomi,  dan mencapai titik nadir di tahun 2017, kini kita mengalami titik balik yang menggembirakan. Kontribusi penerimaan perpajakan terhadap APBN semakin signifikan, dari 74% di tahun 2014 menjadi 83,1% tahun 2019. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pendapatan negara diproyeksikan menembus Rp 2000 triliun, atau persisnya Rp 2.142,5 triliun. Pertumbuhan penerimaan perpajakan hingga 30 September 2018 sebesar 16,6%, jauh di atas rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan 2013-2017 sebesar 6,5%.

So What?

Jika demikian halnya, barangkali kita perlu sepakat apa yang dimaksud dengan ‘cerdas dan tepat’, supaya tidak mengecoh rakyat dan memanipulasi akal sehat.  Adu ide dan program layak diapresiasi. Sayangnya, masih didominasi monolog, berbalas pantun minim substansi, dan  bombastis tanpa didukung data dan  daya analisis yang memadai. 

Ini sekaligus undangan bagi pasangan Jokowi-Makruf Amin untuk menawarkan kebaruan dan jaminan kesinambungan atas apa yang telah dan sedang dilakukan.

Masih cukup waktu untuk berbenah dan publik menantikan adu gagasan dan program yang cerdas, bernas, dan waras. 

Bekasi, Hari Anti Korupsi

Salam hangat

Yustinus Prastowo

(pemerhati kebijakan fiskal)