JAKARTA – Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ahmad Najib Burhani menyebut ada elemen penting mewujudkan Pemilu Damai 2019 kali ini. Salah satunya adalah peran para pemimpin agama dan tokoh agama untuk menurunkan tensi politik.
“Umpamanya secara teologi yang disebut sebagai velue holder pemegang nilai-nilai dan dan menjadi jembatan daripada budaya. Jadi persoalan sekarang adalah ulama atau pemimpin agama kadang-kadang menjadi pihak yang menggunakan identitas agama untuk menyerang masing-masing kubu dan menggunakan ini atau istilahnya mempolitisasi terhadap agama,” ungkap Ahmad Najib, Rabu (20/2/2019).
Lebih lanjut, Ahmad Najib mengatakan para politisi mengetahui bahwa ini adalah persoalan kekuasaan dan juga kepentingan. Namun, bagi umat yang dibawah itu kadang kala menganggap sebagai agama itu sendiri. Jadi mendukung 01 atau 02 dianggap sebagai perjuangan agama atau perjuangan Islam dan ini kemudian menjadi syarat atau rentan politisasi terhadap Pemilu.
Seperti, yang terjadi saat ini bukan sekedar Islam versus non muslim tetapi Islam dan yang lebih Islami atau antara kelompok yang misalnya santri milenial melawan santri tradisional dan sebagainya. Kemudian wacana ini menjadi sangat panas terutama terkait hoax di media sosial.
“Yang terjadi di media sosial itu lebih panas daripada realitas. Ini yang biasanya kalau kita membaca teori itu sama seperti cyber jahiliyah teori,” jelas Najib.
Elemen lainnya, lanjut Najib, penyelenggara Pemilu KPU dan kemudian bagaimana mereka menyelenggarakannya secara adil dan kemudian tidak berpihak. Penyelenggara Pemilu yang damai itu juga tergantung kepada dua calonnya, baik kubu 01 dan 02 itu bagaimana mereka bisa mengendalikan dan mengontrol anggotanya. Dan terakhir, kata dia, tergantung pada pendukung suporter masing-masing.
“Nah Pemilu damai itu tergantung pada elemen yang tadi,” ucap Najib lagi.
Najib melanjutkan dalam hal ini Muhammadiyah sudah mulai berpikir untuk rekonsiliasi pasca Pemilu 2019. Dia kembali mengingatkan bahwa Pemilu adalah ritual politik lima tahunan, jangan sampai proses pesta demokrasi itu mengorbankan persatuan dan kesatuan.
“Itu kebetulan dekat dengan Idul Fitri Jadi bagaimana kemudian umat yang terbelah ini kemudian bisa rekonsiliasi. Esensi dari pemilu adalah bagaimana kelompok minoritas itu bisa tenang bisa mendapatkan hak-haknya yang kalah juga merasa damai. Jadi ini adalah esensi daripada demokrasi dan ini kadang-kadang menjadi seperti momok menakutkan dan disebarluaskan kepada masyarakat seakan-akan kalau si A Nomor 1 atau nomor dua menang itu menjadi ancaman bagi kelompok yang lain,” papar Najib.
“Pesan damai jangan sampai memecah masyarakat itu ditekankan dalam Pilpres dan Pemilu saat ini,” tuturnya.
Lebih jauh, Najib menghimbau agar dua kubu khususnya para pendukung mengurangi peran media sosial sebagai alat untuk mencaci-maki lawan. Kata dia, beda pilihan politik bukan berarti persoalan hidup dan mati akan tetapi sebagai proses politik biasa untuk mengendurkan tensi di media sosial.
“Muhammadiyah misalnya menjembatani antara dua kelompok untuk bisa saling komunikasi. Seperti saya sebutkan tadi bahwa peran ulama itu bukan seperti partai politik. Mereka mestinya terus mendengungkan sebagai jembatan sebagai orang yang menghubungkan dan menyebarkan positif dalam Pemilu. Nah itu yang diputuskan dalam tanwir Muhammadiyah di Bengkulu,” pungkas Najib.