Jakarta – Kinerja Polda Metro Jaya dalam penanganan kasus pengeroyokan terhadap suami istri dan seorang ipar yang diduga dilakukan oleh Rinaldo (Rhino) dan Victor Efendi dinilai lambat.
Proses penahanan yang dilakukan Polda Metro juga dikritik karena tidak sesuai dengan waktu kejadian perkara.
Saksi mata, Ari menjelaskan, penganiayaan tersebut terjadi Sabtu (9/6) pukul 02.15 Wib. Korbannya adalah Handiwinata, Angeline Christeila Effendy dan seorang adik iparnya.
Dua pelaku ditahan pada Senin (11/6) di Ruang Tahanan Polda Metro Jaya. Penahanan tersebut diduga tertunda karena ada campur tangan anggota klub mobil mewah dengan inisial F.
“Patut diduga anggota klub mobil mewah ini hendak membebaskan pelakunya untuk tidak ditahan ,” jelas Ari seperti yang dihimpun rmol.co di Jakarta, Jumat (22/6).
Dia lalu menceritakan kronologi kejadian. Menurutnya, penganiayaan ini terjadi pada dini hari ketika pelaku yang mengemudi Honda Jazz melintas di area pintu keluar Bengkel Cafe Jakarta.
Saat itu kondisi lalu lintas di sekitar memang tengah macet. Nah, sekitar pukul 02.16 Wib Rhino Piong cek-cok dengan pengemudi lain.
“Satu menit kemudian, Handiwinata bersama istri dan iparnya yang terhalang laju menekan klakson beberapa kali. Namun, Rhino Piong marah-marah dengan memukul berkali kali ke kendaraan Handiwinata,” jelasnya.
Setelah melihat lebih dekat, Angeline mengenali Rhino. Lalu Handiwinata meminta Rhino untuk menggeser mobilnya namun dia menolak, bahkan memaki-maki Angeline.
Tidak terima istrinya dimaki-maki, Handiwinata akhirnya memukul Rhino. Aksi ini dibalas oleh teman-teman Rhino yang mengeroyok Handiwinata diikuti letupan senjata oleh pihak Rhino. Bahkan, Rhino menginjak-injak Handiwinata.
“Cium kaki gua , disini tidak ada tuhan selain gua,” teriak Rhino seperti ditirukan Ari.
Karena kedua pihak tidak mau berdamai, Handiwinata melapor kasus ini ke Polda Metro Jaya atas penganiayaan dan pengeroyokan.
Pelaporan ini didampingi oleh tiga security Kawasan SCBD setelah korban dirawat di Rumah Sakit Siloam.
“Warga yang hendak meleraikan keributan terpaksa mundur karena mendengar sekali suara tembakan oleh oknum aparat yang mengawal Rhino dan kawan-kawan,” jelas Ari.
Dia menjelaskan, seharusnya oknum aparat tersebut mencegah terjadi pengeroyokan dan bukan malah membiarkan tindakan kekerasan terjadi.
“Justru dengan melepaskan tembakan membahayakan jiwa warga dan suara tembakan ini seperti teror bagi warga. Fungsi aparat harus menciptakan keamanan , kenyamanan dan ketertiban,” terang Ari.
Saksi lainnya, Suryanto membawa selongsong peluru di tempat kejadian perkara dan melaporkan temuan ini kepada Polda Metro Jaya serta menyerahkan selongsong ke Resmob untuk diselidiki, Senin (18/6).
Selanjutnya, pelaku dijerat pasal 170 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling sedikit 5 tahun.
Deklarator YMI: Duka Korban Penganiayaan di SCBD adalah Duka Kita Bersama
Tanggon Nm selaku Deklarator YMI mengakui bahwa fenomena tersebut belakangan ini marak terjadi, maka itu, kepolisian harus bisa menunjukan netralitasnya dalam menjalankan tugasnya. Dia mengingatkan agar hukum tidak boleh tajam kebawah tetapi malah tumpul ke atas.
“Semua orang di Indonesia harus mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Hukum tidak memandang dia seorang pejabat, anak pejabat, atau orang biasa sekali pun,” tuturnya.
“Siapapun dia semua sama di mata hukum,” kata Tanggon lagi.
Dia melanjutkan bahwa kejadian ini menjadi tanggung jawab bersama sebagai sesama manusia untuk mengawal kasus ini, agar pihak kepolisian bisa berlaku adil, bayangkan apabila ini terjadi kepada keluarga, kerabat atau orang-orang yang di kasihi.
Apa lagi YMI yang didominasi generasi mudanya, generasi millenial hari ini tidak boleh apatis, generasi muda tidak boleh diam tetapi generasi muda harus berani menyuatakan kebenaran.
“Generasi muda harus bisa menyuarakan keadilan, menjadi tanggung jawab generasi muda untuk bisa menjadi penyambung lidah di kalangan masyarakat,” lanjutnya.
Sementara itu, Trisnawingki selaku Ketua Komisariat GMNI Jayabaya mengaku sedih melihat kejadian tersebut.
“Dalam hati kecil kita merasakan kesedihan yang sama dan luka yang sama,” tambah dia.
“Apa lagi kalau sampai diperlakukan tidak adil,” ucap dia.
Dia menambahkan bahwa Negara ini negara hukum ada aturanya, tidak boleh menganiaya orang sesukanya hatinya, apa lagi sampai ada yang melepaskan tembakan.
“Ini bukan jaman koboi,” sindirnya.
Trisnawingki sangat menyayangkan ada segelintir pihak yang merasa kebal hukum, seakan-akan dia tidak bisa disentuh dan katakanlah sesuai dengan permintaannya.
“Kan tidak boleh seperti itu. Hukum itu equality before the law (asas persamaan di hadapan hukum). Semuanya sama di hadapan hukum tanpa terkecuali.
Saya sangat mengecam kejadian tersebut dan berharap korban penganiayaan mendapat keadilan,” tandasnya.